Lintas APH

Komnas Perempuan : Sikap Proaktif APH Kunci Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual

Sumber: instagram @Olivialatuconsina

JAKARTA – Komnas Perempuan menyampaikan, perspektif dan penyikapan proaktif dari aparat penegak hukum (APH), serta semua pihak yang bertanggung jawab dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai kunci bagi pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual (KS).

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy mengatakan, pada dasarnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memiliki banyak sekali kebaruan, terutama karena memfokuskan pada pemenuhan hak korban. Namun dalam implementasinya masih terdapat tantangan.

“Namun terobosan tersebut tampaknya masih sulit dinikmati oleh korban mengingat untuk melaporkan pun sudah sebuah tantangan tersendiri. Ketika telah dilaporkan pun, tidak mudah bagi korban untuk dapat mengakses hak-haknya,” kata Olivia, Senin (7/10/2024).

Oleh karena itu, Komnas Perempuan menginisiasi Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) untuk menyatukan perspektif dan keterampilan dari setiap pemangku tanggung jawab UU TPKS.

Olivia juga menegaskan bahwa ruang kesepahaman lintas-sektor sangatlah penting. Hal itu sudah dilakukannya sejak setahun lalu bersama jejaring Masyarakat sipil.

“APKS adalah ruang belajar kita semua yang perlu lebih maju dalam memahami situasi korban kekerasan seksual dari sudut pandang penegak hukum, pemberi layanan, serta pendamping korban baik yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat guna memastikan korban mendapatkan hak-haknya secara genuine sebagaimana amanah konstitusi kita,” kata Olivia.

APKS tahun ini nantinya akan mendalami isu penyiksaan seksual yang menjadi salah satu dari sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur secara spesifik dalam UU TPKS. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi antipenyiksaan melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

“Langkah hukum inilah yang digunakan untuk melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan pada publik dan pengambil langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganannya termasuk penyiksaan seksual,” jelas Olivia.

Ia juga mengatakan, isu kekerasan memang bukan isu baru, tetapi sejauh mana pemangku kepentingan memiliki kesepahaman terkait dengan isu tersebut dan kaitannya dengan kekerasan seksual.

Dalam kegiatan APKS, isu-isu tersebut akan didalami bersama yang berlangsung mulai 7 Oktober 2024 secara dalam jaringan (daring) hingga 16-21 Oktober mendatang secara luar jaringan (luring) di Jakarta. APKS ini diikuti oleh 55 peserta dari wilayah Sumatera Utara, Bali, Jawa Barat, Sulawesi Tengah dan Selatan, dan Maluku dari berbagai unsur.

“Di dalam proses belajar nanti, studi kasus bisa menjadi salah satu pendekatan yang dapat kita gunakan untuk memahami kedekatan kedua isu ini antara kekerasan seksual dan penyiksaan. Pengalaman di tingkat APH, pemberi layanan pemulihan korban, dan pendamping korban diharapkan jadi ruang belajar efektif untuk memahami lebih dekat tentang kedua isu ini,” demikian jelas Olivia.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button