Komisi V DPR RI Ajukan Revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi

JAKARTA – Komisi V DPR RI sepakat untuk revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2017, dalam waktu dekat. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menyatakan bahwa revisi ini diperlukan karena lemahnya pengawasan, yang menyebabkan munculnya banyak proyek bermasalah.
“Udah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat lewat Baleg, kami akan revisi UU jasa konstruksi, salah satu yang kami ajukan perubahan LPJK diusulkan ngga di bawah Kementerian PUPR, dulu kan Kementerian PUPR, kami buat LPJK keluar kementerian, karena check and balances terkait konstruksi jasa ini aspirasi seluruh fraksi,” kata Lasarus, Rabu (30/10/2024).
Terkait penyusunan mekanismenya akan didiskusikan lebih lanjut, termasuk seperti naskah akademik dan lain sebagainya.
“Ada ketimpangan, banyak BUMN pada proyek APBN, didominasi perusahaan besar sehingga perusahaan kecil di daerah kebagian tugas selesaikan kontrak, kalau tidak selesai kalau bermasalah yang diminta perusahan daerah,” sebut Lasarus.
Langkah DPR ini didorong oleh banyaknya perusahaan pemenang tender yang mengalami kendala dalam menyelesaikan proyek konstruksi. Namun, tidak diselesaikan dengan baik ketika proyeknya selesai.
“Pengerjaan besar tidak memobilisasi peralatan, mereka pinjam peralatan ke perusahaan daerah, ketika rugi, timbul masalah ditinggalkan, orang yang minjamin alat ngga dibayar, banyak PR tersisa,” kata Lasarus.
Sebagai catatan, UU No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menggantikan UU Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999, yang sudah berlaku selama lebih kurang 17 tahun. Undang-undang ini hadir sebagai bagian dari upaya menuju tata kelola pemerintahan yang baik, tuntutan era keterbukaan dan harmonisasi dengan peraturan sektor lain yang berlaku setelah diterbitkannya Undang-Undang Jasa Konstruksi tahun 1999, seperti UU No. 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan terkait lainnya.
UU Jasa Konstruksi yang baru, terdiri dari 14 Bab dan 106 pasal. UU Jasa Konstruksi ini tidak lagi berorientasi hanya kepada urusan bidang PUPR tetapi mencakup penyelenggaraan pekerjaan konstruksi di Indonesia secara utuh.
Beberapa substansi penting antara lain. Pertama yaitu adanya pembagian peran berupa tanggung jawab dan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Menjamin terciptanya penyelenggaraan tertib usaha jasa konstruksi yang adil, sehat dan terbuka melalui pola persaingan yang sehat.
Substansi yang penting berikutnya adalah adanya perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat penyelenggaraan jasa konstruksi. Perlindungan ini mencakup aspek bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi, di mana dalam RUU Jasa Konstruksi yang baru tidak ada klausul terkait kegagalan pekerjaan konstruksi, hanya ada klausul kegagalan bangunan. Hal ini bertujuan memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak saat pekerjaan konstruksi berlangsung.
Selain itu, RUU Jasa Konstruksi yang baru juga menyoroti perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia di bidang jasa konstruksi, termasuk aturan bagi badan usaha asing yang beroperasi di Indonesia dan penetapan standar remunerasi minimum untuk tenaga kerja konstruksi. Substansi lainnya mencakup pengamanan investasi di bidang jasa konstruksi serta jaminan mutu yang mengedepankan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4).