Parlemen

Atasi Over-Kapasitas Lapas, Adies Kadir Usulkan Restorative Justice Sebagai Solusi

Sumber Foto: Instagram/@adies.kadir

JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyoroti permasalahan over-kapasitas di lembaga pemasyarakatan, terutama terkait narapidana kasus narkoba. Menurut Adies, kondisi ini memberi tekanan besar pada sistem pemasyarakatan dan membutuhkan solusi segera.

“Koordinasi antar-aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, diperlukan untuk mencari pendekatan yang lebih efektif dalam menangani kasus narkoba. Alternatif seperti rehabilitasi bagi pengguna narkoba dan penyederhanaan proses hukum untuk pelanggaran ringan, perlu dipikirkan agar menjadi bagian dari strategi untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan,” ujar Adies.

Ia pun berpendapat bahwa penerapan hukuman kerja sosial bisa menjadi alternatif yang efektif untuk mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang memiliki kapasitas terbatas.

Ia menjelaskan bahwa upaya ini memungkinkan pelaku kejahatan menjalani hukuman tanpa membebani sistem pemasyarakatan, sekaligus memberikan dampak rehabilitatif yang positif.

“Melalui kerja sosial, pelaku dapat memahami pentingnya tanggung jawab sosial dan berkesempatan untuk memperbaiki diri dan dapat ikut serta memberikan kontribusi langsung bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian, hukuman kerja sosial menjadi bagian penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan rehabilitatif,” ungkap Adies.

Politisi Fraksi Partai Golkar ini juga menjelaskan bahwa penegakan hukum berbasis restorative justice di Indonesia bisa menjadi alternatif penyelesaian perkara hukum, terutama untuk kasus ringan yang lebih baik diselesaikan dengan pendekatan dialogis.

Konsep ini, menurut Adies, berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat serta menghindari hukuman formal yang sering kali berdampak negatif bagi semua pihak.

“Namun, penerapan restorative justice di Indonesia masih berjalan secara sektoral, tergantung pada kebijakan masing-masing institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan. Akibatnya, pendekatan ini belum terintegrasi secara menyeluruh dalam sistem peradilan, sehingga penerapannya sering kali inkonsisten dan kurang efektif,” ujarnya.

Hingga saat ini, Adies melanjutkan, pendekatan ini hanya diatur melalui pedoman internal lembaga penegak hukum, seperti Surat Edaran Kapolri, Peraturan Jaksa Agung, dan Peraturan Mahkamah Agung, yang bersifat terbatas.

Hal ini menciptakan ruang abu-abu dalam penerapannya, termasuk potensi penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.

“Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan regulasi nasional yang mengatur restorative justice secara komprehensif, dengan memperjelas kriteria, mekanisme, dan pengawasan prosesnya. Regulasi ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum, tetapi juga memastikan penerapan yang adil, transparan, dan konsisten di seluruh tingkatan peradilan,” tuturnya. (YK/dbs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button