Politik

DPR Akan Kumpulkan Tokoh dan Pakar untuk bahas soal penghapusan “Presidential Threshold”

Sumber Foto: DPR RI

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menggelar focus group discussion (FGD) untuk menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan, FGD tersebut akan diikuti oleh akademisi, praktisi di bidang pemilu, serta pemangku kepentingan terkait pemilu lainnya.

“DPR akan mungkin membuat semacam FGD, mengundang akademisi, atau tokoh masyarakat praktisi di bidang itu. KPU, Bawaslu, semua stakeholder yang terkait,” ujar Adies

“(Kami) akan membahas bersama-sama, kira-kira rekayasa konstitusi seperti apa yang akan dibuat di dalam rancangan UU, seperti yang diminta dalam pertimbangan majelis hakim di MK,” tambahnya.

Adies menjelaskan bahwa kajian mendalam diperlukan untuk memastikan revisi UU Pemilu yang dilakukan tetap sesuai dengan putusan MK.

Politikus Partai Golkar ini menegaskan bahwa legislatif akan melaksanakan putusan MK mengenai presidential threshold yang bersifat final dan mengikat.

“Inilah yang harus dijalankan oleh pembuat UU. Nanti, rekayasa konstitusi yang seperti apa yang akan dilakukan, nah ini kan perlu pembahasan. Disampaikan juga itu mendengar masukan-masukan,” ungkap Adies.

Namun, Adies belum dapat memastikan kapan FGD tersebut akan dilaksanakan karena DPR masih dalam masa reses hingga akhir Januari 2025.

Meski begitu, ia meyakini bahwa pembahasan tersebut akan dilakukan ketika masa sidang dimulai.

“Tapi yang pasti, pemilihan presiden masih lama. Sebelum pemilihan presiden, itu pasti akan dibahas RUU tersebut,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menghapus presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PPU-XXII/2025 pada Kamis, 2 Januari 2025.

Dalam putusannya, MK mempertimbangkan kecenderungan perpolitikan Indonesia yang mengarah pada pencalonan tunggal.

Selain itu, ambang batas pencalonan dinilai sebagai bentuk pelanggaran moral yang tidak dapat diterima, karena memangkas hak rakyat untuk memilih lebih banyak calon presiden.

Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan bahwa norma hukum Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. (YK/dbs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button